SELAMAT DATANG DI POJOK INFORMASI

HEADLINE NEWS

21 September 2011

POLITISASI PENGUNDURAN PSU PILKADA PEKANBARU


Mundurnya jadwal Pemungutan Suara Ulang (PSU) Walikota dan Wakil Walikota Pekanbaru sudah final setelah KPUD Pekanbaru menyampaikan pri hal pengunduran tersebut ke Mahkamah Konstitusi beberapa waktu yang lalu. Hal ini di perkuat dalam konfrensi pers yang dilakukan KPUD Pekanbaru bersama penjabat walikota, sekretaris daerah kota dan inspektorat seolah-olah kelompok ini menjadi satu kubu yang menginginkan PSU di undur. Sementara kubu yang lain terus bereaksi melakukan aksi demontrasi meminta agar PSU di laksanakan sesuai dengan jadwalnya, diantaranya yang paling getol adalah Barisan Penjaga Konstitusi (BAJAK) yang terus menerus berdemontrasi ke KPUD Pekanbaru dan kantor walikota. Dari kubu PAS sendiri, melalui ketua tim suksesnya, drh,Chaidir,MM juga meminta agar KPUD Pekanbaru mematuhi putusan mahkamah konstitusi untuk dapat melaksanakan Pemungutan Suara Ulang paling lama 90 hari dari amar putusan MK di terbitkan. Yang menarik kubu Berseri tidak bereaksi sama sekali, seolah-olah mengamini apa yang di lakukan KPUD Pekanbaru untuk tidak melaksanakan PSU. Bahkan Persoalan pengunduran PSU oleh KPUD Pekanbaru pun kini sudah menjadi isu nasional setelah secara khusus tayangan Genta Demokrasi di Metro TV membahas persoalan ini.

Banyak kalangan menilai bahwa pengunduran PSU ini sangat kental dengan nuansa politisnya, Dugaan ini berkembang setelah Ketua KPUD Pekanbaru Yusri Munaf yang ingin menyelenggarakan PSU pada tanggal 14 September 2011 langsung di berhentikan dengan alasan tidak professional menyelenggarakan Pilkada Pekanbaru. “"Mengapa yang diganti hanya ketua, padahal pelaksanaan Pilkada di lakukan secara kolektif oleh anggota komisioner lainnya, anggota yang lain hanya mendapat teguran tertulis, mengapa saya saja yang di pecat, untuk memecat harusnya ada prosesnya, tidak bisa langsung seperti ini”, sebut Yusri Munaf melakukan pembelaan di sebuah media. 
Penunjukkan Syamsurizal sebagai Penjabat Walikota Pekanbaru oleh Gubernur Riau Rusli Zainal pun dianggap sangat kental dengan nuansa politisnya, karena Syamsurizal dianggap sebagai birokrat senior yang mampu mengamankan skenario pengunduran PSU. Syamsurizal yang dinilai banyak masalah ketika memimpin Kabupaten Bengkalis, kini secara tegas menyatakan tidak akan menyediakan anggaran untuk PSU dengan alasan anggaran Pemko defisit 80 M, sedangkan sisa anggaran Pilkada yang 3,4 M tidak bisa di gunakan dengan alasan numenklaturnya bukan untuk PSU tetapi untuk Pilkada putaran kedua, itu pun di perkuat alasan adanya temuan sebesar 1,8 M penggunaan dana Pilkada bermasalah, sehingga ini menambah argumentasi untuk tidak berani mengutak-ngatik sisa dana Pilkada. Sedangkan alasan lain mengapa PSU tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang diminta MK , KPUD Pekanbaru menyebutkan perbaikan DPT dan perekrutan anggota KPPS, PPS dan PPK yang baru membutuhkan waktu yang cukup lama.
Anggota DPRD Pekanbaru pun mengomentari persoalan pengunduran PSU, diantaranya disampaikan oleh wakil Ketua DPRD Pekanbaru Dian Sukheri, beliau menyebutkan “bahwa sisa dana Pilkada yang 3,4 M seharusnya bisa digunakan dengan cara mengubah naskah hibah oleh penjabat walikota tanpa mengubah numenklaturnya, sedangkan kekurangannya bisa diselesaikan dengan mengacu kepada Permendagri nomor 57 tahun 2009 pasal 8b ayat 2, tentang pedoman pengelolaan belanja pemilukada, yang isinya, jika dalam Pemilukada daerah tidak mempunyai dana, maka pihak Pemko/Pemkab dapat mengajukannya ke pemerintah Provinsi.” Sayangnya hal ini tidak di lakukan oleh penjabat walikota yang nampaknya tidak punya niat untuk melaksanakan PSU sesuai waktu yang diminta dalam amar putusan MK. Banyak orang tidak percaya kalau Pekanbaru tidak punya uang, apalagi provinsi Riau sebagai provinsi kaya yang termasuk penyumbang terbesar devisa Negara melalui hasil minyak buminya.
Sedangkan untuk argumentasi perlunya perbaikan DPT dan perekrutkan kembali anggota KPPS, PPS dan PPK, Sekretaris Tim Pemenangan PAS M. Fadri AR yang juga anggota DPRD Pekanbaru menyebutkan bahwa “amar putusan MK tidak meminta adanya perbaikan DPT dan perekrutkan kembali anggota KPPS, PPS dan PPK. Secara gamblang dan terang MK hanya meminta pemungutan suara ulang, sehingga banyak kalangan menilai ini hanya akal-akalan pihak-pihak yang tidak ingin PSU di laksanakan sesuai dengan jadwalnya”. Masyarakat semakin merasakan telah terjadi politisasi pengunduran PSU.
Pada akhirnya kita ingin mencoba mengiilas balik akar persoalan pengunduran PSU ini, ternyata persoalannya tidak lepas dari perang politik dua orang yang pada saat itu sama-sama berkuasa. Pilkada Pekanbaru adalah pertarungan politik antara Rusli Zainal yang saat ini masih menjabat sebagai Gubernur Riau dengan Herman Abdullah yang baru selesai menjabat walikota Pekanbaru dua priode. Pertarungan itu ada sejak Herman Abdullah gagal menjadi ketua Golkar Riau, setelah Rusli Zainal lebih memilih Indra Muchlis Adnan dengan skenario pemilihan secara aklamasi di Kota Tembilahan dimana Indra menjadi Bupati. Padahal Herman lebih senior dari Indra Muchlis Adnan, tetapi karena adanya hubungan kekeluargaan antara Rusli dengan Indra, maka kursi Golkar I Riau tidak boleh jatuh ketangan sembarang orang yang sebelumnya di nahkodai oleh Rusli Zainal. Pertarungan itu berlanjut setelah dalam Pilkada Pekanbaru, Herman Abdullah secara terang-terangan mendukung Firdaus,MT yang notabene masih satu kampung, sedangkan Rusli Zainal tentunya berjuang sampai titik darah penghabisan, karena istrinya sendiri Septina Prima Wati sebagai orang yang dipasang melawan kandidat dukungan Herman Abdullah yakni Firdaus-Ayat Cahyadi. Sampai setelah hari pemilihan, ternyata Septina kalah dengan angka yang cukup telak dengan persentase dibulatkan, 59 % untuk Firdaus, dan 41 % untuk Septina. Tentunya Rusli tidak tinggal diam, berbekal bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan Herman Abdullah sebagai walikota Pekanbaru dalam memenangkan pasangan Firdaus-Ayat Cahyadi, akhirnya gugatannya dikabulkan MK, dengan putusan meminta KPUD Pekanbaru melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) paling lama 90 hari setelah amar putusan di dikeluarkan, tepatnya paling lama pada tanggal 23 September 2011. Hanya sayangnya mengapa PSU tidak juga dilaksanakan, inilah yang membuat banyak masyarakat beropini bahwa telah terjadi politisasi pengunduran PSU.
Alasan yang paling mengemuka mengapa PSU di undur adalah, karena apabila dilaksanakan PSU, Septina akan kembali menerima kekalahan, dan ini menjadi persoalan sendiri bagi harga diri sang penguasa di Negeri Riau ini. Seharusnya kekuatiran ini tidak perlu ada, bukankah dalam pertandingan harus ada yang menang dan harus ada yang kalah. Mempolitisasi persoalan PSU sama dengan menjalimi hak politik masyarakat. Masyarakat yang seharusnya dipimpin oleh pemimpin yang dia pilih sendiri, harus di halang-halangi oleh segelintir elit politik yang haus akan kekuasaan. Ini sebuah kemunduran dalam berdemokrasi, dimana ada pihak yang tidak siap menerima kekalahan dalam pertarungan politik.
Persoalan kepemimpinan selevel walikota adalah persoalan hajat hidup orang banyak, maka jangan sampai penundaan PSU justru menjadi bom waktu terhadap kenyamanan dan kedamaian kota Pekanbaru yang selama ini sudah kita rasakan. Kita tidak ingin melihat ada sekolompok massa yang anarkis melakukan aksi yang kontra produktif terhadap pembangunan dan kenyamanan kota Pekanbaru. Peluang masuknya provokator yang seolah-olah mereka ada dalam satu selimut tetapi mimpinya berbeda akan sangat berpeluang terjadi. Tentunya kita menghimbau kepada pihak-pihak yang telah di beri kewenangan untuk mengelola pemerintah dan mengayomi masyarakat untuk bertindak arif dan bijaksana, untuk tidak mengkhianati kepercayaan yang sudah di berikan masyarakat kepada mereka dengan sekali lagi untuk tidak mempolitisasi Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang dalam pemilihan calon Walikota dan Calon Wakil Walikota Pekanbaru.
Penulis : Yusriadi,SE adalah Pemerhati Politik Riau

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More